Sabtu, 18 Agustus 2018

Hukum Nikah Cina Buta dalam Fiqh Sunnah

B. HUKUM NIKAH CINA BUTA

Dari beberapa dalil di atas, dapat dipahami bahwa hukum nikah tah-
lil adalah haram. Nikah tahlil dilarang atau diharamkan, meskipun tidak
disebutkan secara terang-terangan di dalam akad karena sesuatu yang di-
jadikan sebagai acuan atau dasar larangan itu adalah tujuan dan niat.

Ibnu Qayyim berkata, “Ulama Madinah, ahli hadits, dan ulama figih
sepakat bahwa penetapan syarat niat nikah tahlil, baik diucapkan maupun
Sekadar diniatkan adalah tetap diharamkan karena tujuan di dalam akad
harus diungkapkan, dan sebagaimana kita ketahui, setiap pekerjaan ber-
gantung kepada niat. Ketika mengucapkan akad, syarat yang diniatkan
tara dengan syarat yang diucapkan. Lafal itu pun tidak diucapkan begitu
                                   

saja, tapi sebagai ungkapan atas maksud yang ada di dalam hati, karena
itu, jika maksud dan tujuan telah jelas, maka lafal bukan menjadi suatu hal
yang penting karena pada dasarnya, lafal hanyalah salah satu sarana.
Oleh karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa suatu pernikahan
dilaksanakan dengan tujuan untuk menghalalkan perempuan agar ia dapat
menikah kembali dengan suaminya yang pertama, dengan menentukan
jangka waktu pernikahan dan sama sekali tidak bertujuan untuk membina
hubungan yang berkelanjutan serta menafikan tujuan pernikahan, sep
melahirkan dan mendidik anak, serta tujuan pernikahan lainnya.
Pernikahan semu seperti ini tidak lain merupakan sebuah tipuan dan
kebohongan. Allah swt tidak pernah menganjurkan pernikahan semacam
ini, Bahkan, hal itu tidak diperbolehkan karena kerusakan dan kerugian
yang ditimbulkan oleh masing-masing pihak sangatlah besar.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Islam terlalu suci dan mulia untuk
memperbolehkan perempuan berhubungan dengan laki-laki yang tidak
berkeinginan untuk menikah dan hidup bersama dengannya. Karena itu,
pelaku pernikahan seperti ini adalah pelacur dan pezina, sebagaimana
Julukan yang dilontarkan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Maka, bagaimana mungkin sesuatu yang diharamkan dianggap halal
sesuatu yang buruk dianggap baik, bahkan sesuatu yang najis dianggap
sebagai sesuatu yang suci?
Seseorang yang diberi hidayah keimanan tidak akan memungkiri
bahwa nikah tahlil merupakan dosa besar, di mana akal manusia tidak dapat
memanipulasi syariat yang telah diajarkan oleh para nabi, terutama
yang diajarkan oleh Rasulullah saw. sebagai syariat yang sempurna.”

“Itulah pendapat yang benar mengenai nikah tahlil, sebagaimana hal
itu disepakati oleh Imam Malik, Ahmad, Tsauri, ulama dari aliran Zahir, dan ulama-ulama fiqih lainnya, seperti Hasan, Nakhaii, qatadah, Laits
Dan Ibnu Mubarak.

Namun, di antara para ulama, ada ulama yang memperbolehkan
nikah tahlil apabila niat untuk melakukannya tidak diucapkan ketika
akad. Mereka beralasan bahwa penetapan suatu hukum didasarkan kepada
sesuatu yang tampak, bukan didasarkan kepada maksud dan niat yang
disembunyikan. Bagi mereka, niat ketika melakukan akad tidak memiliki
konsekuensi apa pun.

Imam Syafi'i berkata, “Muhallil yang merusak hukum sahnya pernikahan  adalah mereka yang menikahi perempuan dengan mensyaratkan tahlil,
kemudian menceraikannya. Sementara itu, bagi mereka yang tidak men-
syaratkan atau menyebutkannya di dalam akad nikah, maka akad nikah
yang dilakukannya adalah sah.

Abu Hanifah dan Zufar berkata, “Apabila laki-laki itu mensyaratkan
tahlil ketika melakukan akad (dengan menyebutkannya secara terang-
terangan di dalam lafal ijab kabul), maka perempuan yang dinikahinya
boleh menikah kembali dengan suami pertamanya karena syarat yang
tidak sah tidak berpengaruh terhadap sahnya suatu pernikahan. Karena
itu, perempuan yang dinikahi secara tahlil boleh menikah kembali dengan
suami pertamanya, tentunya setelah dia dicerai atau ditinggal mati oleh
suami keduanya dan setelah habis masa iddahnya.

Abu Yusuf berpendapat, “Akad nikah dengan cara seperti itu adalah
Rusak atau tidak sah.”

Ahmad berpendapat, “Akad nikah yang dilakukan dengan cara seper-
ti itu adalah sah, tapi perempuan yang dinikahi tidak boleh kembali lagi
kepada suaminya yang pertama.”

 Sumber : Terjemah Fiqh Sunnah karangan Sayid Sabiq hlm. 257-259

Advertisement

0 komentar

click to leave a comment!